Sadar Nggak Instagram Bikin Kita Jadi Gemar ‘Mempertontonkan Diri’?

by -1017 Views
Sadar Nggak Instagram Bikin Kita Jadi Gemar ‘Mempertontonkan Diri’?
Hosting Unlimited Indonesia

Fenomena-fenomena sosial yang dimunculin sama media sosial Instagram emang selalu menarik buat kita perhatiin. Dilansir dari Katadatahingga 2016 Instagram ada di peringkat ketiga media sosial dengan pengguna aktif terbanyak di Indonesia, yaitu mencapai 39% dari sekitar 106 juta total pengguna media sosial. Hingga 2017, penggunanya nyampe 700 juta di seluruh dunia. Nah, salah satu fenomena sosial yang muncul gara-gara Instagram adalah gimana media yang satu ini ngejadiin penggunanya sebagai masyarakat tontonan atau society of spectacle.

 

 

Menurut Guy Debord, The society of spectacle adalah keadaan di mana masyarakat modern ngejadiin medium visual sebagai produksi utama buat ngerepresentasiin sesuatu dalam kehidupan sosial. Masyarakat nggak cuma suka mengonsumsi citra-citra visual yang diproduksi orang lain, tapi juga mempertontonkan dirinya sendiri lewat citra visual yang mereka produksi. Tapi, ‘tontonan’ atau spectacle itu sendiri sebenernya bukan kumpulan dari citra yang pengen ditampilin masyarakat. Spectacle adalah suatu relasi alias hubungan sosial antarmasyarakat, dan citra-citra itulah sebagai sarananya.

Pemikiran tentang masyarakat tontonan ini sejalan sama media sosial Instagram yang sering kita mainin. Secara nggak sadar, kita lagi ngejalin relasi sama orang lain (followers dan yang kita follow) lewat citra-citra yang kita tampilin lewat feeds, stories, caption, hashtag, dan fitur-fitur lainnya. Dalam pemikiran Guy Debord, orang yang mempertontonkan disebut performer sedangkan orang yang menontonnya disebut spectator. Di media sosial Instagram, semua penggunanya merupakan performer sekaligus spectator.

Gogirl! ngerangkum lima level tontonan yang secara nggak sadar jadi keseharian kita saat ngegunain Instagram. Makin tinggi levelnya, makin mengindikasikan kalo kita adalah korban masyarakat tontonan.

 

LEVEL 1: TONTONAN KESEHARIAN

Apa yang kita lakuin, udah pergi ke mana aja kita, apa yang kita makan, apa yang kita tonton, dan apa yang kita baca, adalah bagian dari tontonan keseharian. Tontonan ini membuat spectator tau seperti apa keseharian performer-nya. Dari tontonan keseharian, secara sadar maupun nggak, performer nyoba ngasih tau info-info pribadinya: sekolah atau kuliah di mana, biasa nongkrong di mana, selera musiknya apa, siapa aja temen-temennya, sampe makanan apa yang dibencinya.

 

LEVEL 2: TONTONAN IDENTITAS

Kadangkala, performer pengen ngasih tau kalo dia adalah bagian dari suatu komunitas atau identitas. Lagi nonton konser, punya merchandise suatu band, pake barang merk tertentu, lagi berkegiatan di suatu perkumpulan, adalah bagian dari tontonan identitas. Tontonan ini membuat spectator tau identitas apa yang coba dipertontonkan performer. Entah itu identitasnya sebagai fans sebuah grup musik, anggota sebuah komunitas pecinta buku, pencinta suatu klub sepak bola, atau pendukung opini dan kelompok tertentu.

 

LEVEL 3: TONTONAN ANTI MAINSTREAM

Seringkali kita share opini yang berbeda dari opini kebanyakan, karya unik yang kayaknya belum pernah ada, serta kesukaan terhadap musik dan film underrated di media sosial, termasuk Instagram. Tontonan buat hal-hal semacam ini punya dua makna. Pertama, si performer emang bener-bener pengen mempertontonkan sesuatu yang mungkin bakal jadi insight baru buat spectatornya. Kedua, si performer ingin mempertontonkan diri, ngasih tau kalo dia punya opini dan kegemaran yang berbeda dari orang kebanyakan, alias anti-mainstream.

 

LEVEL 4: TONTONAN KEPEDULIAN

Pernah kepikiran nggak, sih? Ketika kita nge-share ucapan selamat ulang taun, ucapan bela sungkawa, selamat lulus, atau lagi hadir di hari bahagia orang lain, ada dua hal yang coba kita pertontonkan. Pertama, itu jadi cara kita ngucapin selamat ulang taun, bela sungkawa, dan ikut bahagia di hari bahagia orang lain. Kedua, secara nggak langsung kita mempertontonkan kepedulian kita terhadap orang tersebut. Contohnya, kita ngucapin ulang taun ke seorang temen. In fact, kita bisa aja ngucapin ke orang itu secara langsung, lewat telepon, video call, atau personal chat. Tapi, dengan kita share ucapan ulang taun itu di media sosial, kita membiarkan followers kita jadi tau dua hal. Pertama, hari itu temen kita ulang taun. Kedua, kita ngucapin selamat ke temen kita yang ulang taun itu.

 

LEVEL 5: TONTONAN KEPALSUAN

Semoga kita nggak termasuk golongan performer yang pake barang orang, pake foto orang atau ngutip kata-kata orang buat di-share di media sosial dan diakuin punya sendiri. Merekalah tipe performer yang mempertontonan kepalsuan. Kepalsuan yang dimaksud di sini ngerujuk pada plagiarisme, pencatutan karya orang tanpa izin, dan pamer barang-barang alias komoditas. Kalo kita nemu orang yang suka share barang-barang bermerk versi KW tapi ngakunya asli, mereka termasuk golongan performer yang mempertontonkan kepalsuan. Bagi mereka, comment, like, dan view yang mereka dapetin bukan lagi wujud kepedulian virtual, tapi udah jadi bagian dari realitas.

Inget nggak dulu netizen sempet heboh gara-gara beberapa selebgram ketauan yang pake foto orang  tanpa izin? Nah, kira-kira itulah contoh tontonan kepalsuan.

 

Jadi bagian dari the society of spectacle adalah hal yang nggak bisa dihindarin dari kehidupan kita di era digital saat ini. Nggak ada yang salah dengan itu, selama kita sadar sama fakta kalo apa yang kita pertontonkan dan apa yang kita tonton adalah konsumsi bagi orang banyak. Minimal, konsumsi bagi followers kita. All we can do is being a wise perfomer and spectator in this kind of society. Yes, the one that called ‘the society of spectacle’.

 

Source: Debord, Guy. 1970. The Society of Spectacle. Detroit: Black and Red Translation.

No More Posts Available.

No more pages to load.